UX Leader Role: Dari Individual Contributor Jadi Leadership Sungguhan
Bought by http://ervan.me

Mempelajari hal baru sebenarnya amat mudah. Perkokoh rasa ingin tahu dan pakailah jubah optimistis. Namun, itu hanya sekedar teori. Nyatanya, menerima hal baru dalam kehidupan itu takkan semudah bayangan. Sebelum di GOJEK, desain buatan saya dalam kondisi “baik-baik” saja. Tidak ada cacat dan terkesan “sempurna”. Namun, di GOJEK desain saya tak bernilai. Saya seperti “anak ingusan” di dunia UI/UX. Saya bersyukur. Berkat itu, saya berkembang tak hanya sebagai UI/UX desainer saja.

Sebelum bernaung di GOJEK, saya merupakan mahasiswa biasa yang bergelut di bidang IT. Tahun 2012 merupakan awal petualang saya di dunia desain grafis yang sebenarnya. Kala itu, saya sadar bahwa ketertarikan saja tidaklah cukup. Saya harus bisa mengubah kata “tertarik” menjadi “terlatih”. Kekalahan dan kegagalan memenangkan proyek masih sering saya alami di tahun 2012. Semua berubah ketika seorang kawan dari Kanada mengajak saya bergabung di salah satu softwarehouse. Sejak saat itu, saya tahu bagaimana bekerja dengan tuntutan yang “beruntun”.

Hari ini, saya memilih untuk berdikari dengan mendirikan sebuah UI/UX Advisory, Uxmarker.com. Dulu, saya berperan sebagai “kontributor”. Namun, kali ini saya berperan sebagai leader. Di GOJEK, saya pernah digodok soal leadership. Namun, saya rasa itu belum memuaskan rasa dahaga kognitif. Perkembangan bisnis online digital menuntut seorang UI/UX harus bertumbuh secepat cahaya bersinar. Pengetahuan tentang teori, metodologi, atau bahkan teknik desain layaknya makanan pembuka. Masih ada makanan inti dan makanan penutup. Artinya, saya butuh banyak nutrisi pengetahuan untuk tumbuh sebagai seorang UX leader.

Terima kasih Chelsey Glasson dan Ian Swinson, keduanya memberikan saya gambaran mengenai UX leadership. Diadaptasi dari jurnal Glasson dan Swinson, berikut ini 5 hal yang dibutuhkan untuk memupuk leadership bagi UI/UX desainer:

Career development membantu desainer menjadi Master of UX

Sudah kah memikirkan career development? Mayoritas seorang UX/UI desainer hanya berkutat pada detail desain. Kepala mereka penuh dengan data dan hasil observasi masalah user. Alhasil, mereka lupa akan dirinya sendiri. Di sisi lain, ini memang membantu mendorong seorang desainer fokus pada projek yang sedang dikerjakan. Sayangnya, ia tenggelam dan tak segera kembali ke permukaan.

Kenyataan mengejutkan pun terungkap.

Dari semua desainer UX yang diwawancarai oleh Glasson dan Swinson, tidak ada satupun ux desainer duduk di level eksekutif. Miris. UX desainer merupakan pihak paling dekat dengan masalah dan sekaligus harapan user. Namun, mereka tidak pernah bisa duduk sebagai seorang decision maker secara general. Kenapa bisa demikian? Karena mereka tidak pernah memikirkan career development atau bahkan career goals. Matthew Holloway, User Experience Design VP, Shutterfly berucap:

“When I was starting in my career, I wasn’t aiming to be a manager. At the time, I had never even thought about laying out career goals. I just kind of started doing more of the management tasks for the team because I was good at them, and it went from there.”

Cobalah untuk memikirkan career development. Melalui career development, seorang ux desainer akan menyerap unique multi- disciplinary perspective, insights, and skillset required to be a successful UX Master.

Butuh waktu menjadi expert. Pelajari segala hal supaya “akar” semakin kuat dan “ranting” menjulang tinggi

Rasa optimistis memang baik. Namun, hal baik tak menghasilkan kondisi baik bila intensitasnya berlebihan. Label “Master UX” tidak bisa diperoleh dalam semalam. Bahkan, ketika nilai kognitif Anda adalah superior, Anda tetap harus merendah dan menyerap semua nutrisi yang ada di permukaan.

Potensi besar akan tenggelam bila tak dirawat.

Sebenarnya, banyak UX desainer profesional memiliki bakat leadership yang bagus. Sayangnya, kesempatan tak pernah memihak mereka. Mereka terlalu menikmati pekerjaan sehingga lupa bahwa mereka tidak seharusnya berada di zona tersebut selamanya.
Masih banyak “tanah jajahan” lain yang bisa disambangi.

Cobalah untuk keluar dari zona aman. Berhenti memperhatikan detail projek. Alihkan tenaga dan pikiran untuk mengenal tanggung jawab berbagai divisi perusahaan. Kenali flow projek mulai dari researcher hingga decision maker. Saat itu Anda lakukan, maka Anda akan sadar bahwa seorang UX desainer bukanlah apa. Sebuah produk final akan sukses bila UI/UX desainer, developer, PM, hingga bossess saling bersinerga. Keempat sosok ini tidak bisa berdiri sendiri.

Pikirkan kembali career goals anda. Pelajari tanggung jawab tiap divisi dan jadikan wawasan anda di bidang UI/UX desainer sebagai batu pijakan untuk membangun karir profesional. Bukan sebagai pondasi sekaligus tembok permanent seakan Anda akan mendesain produk selamanya.

Beri sikap dan ucapan positif untuk membakar kinerja tim. Bukan mengkritisi detail pekerjaan tim

Seoarang leader dituntut mampu menggerakkan setiap elemen tim supaya proyek berakhir dengan “senyuman bahagia”. Semula, sebagai UX desainer, Anda dituntut memikirkan setiap icon di dalam layout. Sekecil apapun icon atau bahkan elemen, Anda harus memikirkannya. Data, metodologi, dan teknik desain merupakan tiga senjata andalan. Namun, tidak demikian sebagai UX master.

Semua aktivitas detail sebagai UX desainer harus mulai Anda tinggalkan. Saat ini anda berperan sebagai seorang translator bagi seluruh elemen tim. Anda tidak bisa terlalu memihak di salah satu divisi. Serap semua informasi dan selerasakan dengan tujuan bisnis. Sara Ortloff Khoury, User Experience VP, Walmart Global eCommerce menerangkan:

“When you become a VP, you become a translator. That’s a great word to describe what I do: a translator of business problems into design opportunities. I am more exposed to executives and able to translate business problems as design opportunities in a way that is compelling and inspiring to the cross-functional team.”

Ketahui makna sebenaranya kata “leadership” bagi Master of UX

Seorang leader tidak hanya “pandai” menunjuk dan menyuruh. Kecerdasan emosi, kognitif, dan afektif harus berjalan secara beriringan. Setiap divisi akan bertanggung jawab pada elemen tertentu dan wajib saling serasi. Latar belakang Anda sebagai ux desainer membentuk anda sebagai individu yang berperilaku atas dasar data. Namun, tidak selamanya hal tersebut tepat. Seperti dijelaskan di poin dua, segala hal yang berlebihan takkan berakhir “bahagia”. Ada saatnya Anda harus menggunakan “rasa” saat memutuskan.

Menurut Dawna Jones, Anda harus terbiasa untuk:

“Avoid making a quick decision out of desperation. Give yourself enough time to reflect to ensure that you aren’t selecting a “quick fix” solution instead of taking the time to find a more lasting solution”.